Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PURWODADI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2022/PN Pwd MUSTARI Bin ABDUL ROHMAN Alm Kepala Kepolisian Resor Grobogan Cq Kepala Kepolisian Sektor Gubug Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 01 Mar. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Pwd
Tanggal Surat Selasa, 01 Mar. 2022
Nomor Surat 0
Pemohon
NoNama
1MUSTARI Bin ABDUL ROHMAN Alm
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resor Grobogan Cq Kepala Kepolisian Sektor Gubug
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
Adapun alasan-alasan Pemohon dalam mengajukan Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut:
 
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia (HAM), dan Praperadilan merupakan tempat mengadukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. , yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum International yang telah menjadi Hukum Customary Law, oleh karena itu Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai tersangka  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan horizontal terhadap hak-hak tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan (vide : penjelasan Pasal 80 KUHAP). Dengan demikian penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan sebagai tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian  dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
 
b. Bahwa berdasarkan Ketentuan Pasal 1 angka 10, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan sebagai berikut : Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan;
 
Pasal 77 KUHAP :
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegakan hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara.Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan  merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil  terjadi dalam praktik sistem hukum dinegara manapun apalagi di dalam sistem hukum Common Law , yang telah merupakan bagian dari sitem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum ini menurut  Satjipto Rahardjo disebut Terobosan Hukum atau hukum yang prorakyat (hukum progresif). Terobosan hukum merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional Indonesia.  Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
 
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan  pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga Praperadilan  juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti  yang terdapat dalam perkara sebagai berikut :
 
1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 39/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel tanggal 27 Nopember 2012;
2. Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor : 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015;
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Pebruari 2015;
Dengan demikian jelas bahwa  berdasarkan  Putusan  Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi bersifat  final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan putusan  yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai Calon Tersangka
1). Bahwa melalui putusan  Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor : 21/PUU-XII/2014, MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan Obyek Praperadilan, melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inskonstitusional bersyarat terhadap frasa “ bukti  permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat 1 KUHAP sepanjang dimaknai minimal 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inskonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan;
2). Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “ bukti permulaan” , “ bukti permulaan yang cukup”, dan bukti yang cukup “,  Berbeda dengan pasal 44 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti , yakni  minimal 2 (dua) alat bukti;
3). Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup, dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti  sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia);
4). Mahkamah menganggap  syarat minimal 2 (dua) alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparasi dan perlindungan hak asasi seseorang  agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenagn-wenang penyidik tertama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup;
5). Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka oleh Termohon,  akan tetapi Pemohon langsung ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan Klarifikasi  terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon; 
6). Berdasar pada putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘ bukti permulaan, ‘ bukti permulaan yang cukup’, ‘bukti yang cukup’, dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti  sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangka tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan putusan MK bersifat final  dan mengikat , serta berlaku asas Res Judicata ( Putusan Hakim Harus Dianggap Benar)serta putusan MK bersifat umum, maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat  Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah;
7). Bahwa dengan demikian tindakan Termohon kepada Pemohon dengan tidak memeriksa Pemohon sebagai calon tersangka merupakan tindakan yang TIDAK SAH, dan harus dibatalkan tentang penetapan Pemohon sebagai Tersangka  oleh Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi Cq. Hakim Pengadilan Negeri Purwodadi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
 
2. Tidak Pernah Ada Penyelidikan Terhadap Pemohon
1). Bahwa PEMOHON  tidak pernah dimintai keterangannya dan  tidak pernah ada  surat  perintah  penyelidikan kepada  PEMOHON. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 KUHAP, Polisi memilki tugas penyelidikan dan penyidikan;
2). Bahwa Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul  “ Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (halaman 101) menjelaskan bahwa  dari pengertian dalam KUHAP, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari  fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;
3). Bahwa menurut pendapat Yahya Harahap menyatakan :  sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian tindak pengusutan  sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
4) Bahwa Yahya Harahap mengatakan bahwa  motivasi dan tujuan penyelidikan merupakan tuntutan tanggung jawab  kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakkan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. 
5). Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 (dua) hal yang tidak dapat dipisahkan. Terkait dengan Pemohon, tidak pernah diterbitkan surat perintah penyelidikan terhadap Pemohon, maka penetapan Tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan TIDAK SAH atau CACAT HUKUM, untuk itu HARUS DI BATALKAN;
3. Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka tanpa dipanggil dalam gelar perkara dan hadir dalam gelar perkara;
1). Bahwa Pemohon ditetapkan sebagi Tersangka baru mengetahui setelah ada penangkapan tanggal 29 Januari 2022 dan Surat Perintah Penahanan tanggal 30 Januari 2022  yang mana Pemohon  tidak pernah dimintai keterangan sebagai tersangka  dan  Pemohon tidak pernah dipanggil dalam gelar perkara dan hadir dalam gelar perkara untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, dengan demikian penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah CACAT HUKUM dan TIDAK MEMILIKI KEKUATAN HUKUM, untuk itu HARUS DIBATALKAN;
 
4. Penetapan Tersangka Terhadap Pemohon Tidak Cukup Bukti.
1) Bahwa Termohon dalam menetapkan Tersangka dalam dugaan tindak pidana “ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuank yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHPidana Subsidair  Pasal 289 KUHPidana, oleh Polisi Sektor Gubug  kepada Pemohon hanya berdasarkan pengaduan dari Sdr. FARID MAKRUF Bin TUMIJAN , hal ini berdasar  pada Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kepada  Pelapor dengan nomor : B/04/I/2022/Sek.Gbg, tanggal 27 Januari 2022;
2) Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara :21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup, dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai  sebagai : minimal 2 (dua) alat bukti, sesuai dengan pasal 184 KUHAP;
3) Bahwa berdasarkan pada argumen sebelumnya maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana “ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuank yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHPidana Subsidair  Pasal 289 KUHPidana oleh Termohon kepada   Pemohon, acuan Pemohon adalah pada waktu gelar perkara Pemohon tidak pernah  dipanggil untuk menghadiri gelar perkara, kemudian pada tanggal 29 Januari 2022 sekira jam 21.30 Wib Pemohon ditangkap di rumahnya, yang mana dalam isi surat perintah penangkapan baru diketahui kalau Pemohon sudah ditetapkan sebagai Tersangka, setelah ditangkap kemudian Pemohon ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sp.Han/01/I/2022
4) Bahwa  tindakan Termohon  yang  tidak memanggil Pemohon dalam gelar perkara maka penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah cacat  hukum, dan dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum;
5) Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka tindakan  Termohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam putusan MK dengan nomor perkara : 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum;
 
A. PEMBAHASAN HUKUM
- Bahwa penangkapan terhadap Pemohon oleh Termohon, berdasarkan surat Penangkapan No.Pol : SP.Kap/01/I/2022/Reskrim, tertanggal 29 Januari 2022, Oleh karena itu tindakan Termohon tersebut telah melanggar ketentuan sebagai berikut :
 
PENANGKAPAN, PENAHANAN DAN PENETAPAN TERSANGKA TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
 
- Bahwa karena Termohon tidak melaksanakan prosedur-prosedur sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan, maka tindakan Termohon menunjukkan ketidak patuhan akan hukum, padahal Termohon sebagai aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia in casu dalam kualitas sebagai Penyidik seharusnya memberikan contoh kepada warga masyarakat, dalam hal ini Termohon dalam hal pelaksanaan hukum. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut  :
 
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia :
 
- Pasal 19 ayat (1) :
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia”.
 
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana :
Pasal 7 ayat (3) :
 
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku”.
 
- Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
 
Pasal 8 ayat (1) :
Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya:
a. Menghormati martabat dan HAM setiap orang;
b. Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif;
c. Berperilaku sopan;
d. Menghormati norma agama, etika, dan susila; dan
e. Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM”.
 
- Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
 
Pasal 10  :
“Setiap Anggota Polri wajib : 
 
a. Menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia; 
b. Menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum; 
c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
d. Melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas. 
e. Memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 
f. Menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat”. 
 
- Bahwa dalam perkembangannya PRAPERADILAN telah menjadi fungsi kontrol Pengadilan terhadap jalannya Peradilan sejak tahap penyelidikan khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan penangkapan, Penahanan dan Penetapan Sebagai Tersangka  sehingga oleh karenanya tindakan tersebut patut dikontrol oleh Pengadilan dengan menyatakan bahwa Penangkapan, Penahanan dan Penetapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Para Pemohon adalah TIDAK SAH SECARA HUKUM KARENA MELANGGAR KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN;
 
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi agar segera mengadakan Sidang Praperadilan terhadap TERMOHON tersebut sesuai dengan hak-hak PEMOHON sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 serta Pasal 95 KUHAP, dan mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Purwodadi  Cq. Hakim yang memeriksa Permohonan ini berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut:
 
PRIMAIR :
1. Menerima Permohonan PEMOHON PRAPERADILAN untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan TERMOHON  menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dengan dugaan tindak pidana “ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia “ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHPidana Subsidair Pasal 289  KUHPidana adalah  CACAT HUKUM dan tidak berdasar atas hukum, oleh karenanya penetapan Tersangka terhadap Pemohon tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan tidak sah secara hukum segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penangkapan, Penahanan, dan Penetapan Tersangka terhadap Pemohon;
4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap  Pemohon;
5. Memulihkan hak-hak Pemohon baik dalam kedudukan, kemampuan  harkat serta martabatnya;
 
SUBSIDAIR :
Atau, apabila Hakim pemeriksa perkara a quo berpendapat  lain mohon putusan yang seadil-adilnya.
Pihak Dipublikasikan Ya